Kopi dan Budaya Ngopi Masyarakat Modern

Kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1969. Kopi pertama yang menjadi komoditas di Indonesia adalah jenis kopi Arabika. Dahulu, VOC menjadikan kopi sebagai komoditas utama. Sehingga menjadi awal masyarakat Indonesia mengenal kopi dan menjadi penghasil kopi terbesar nomor tiga di dunia hingga saat ini. Tidak hanya menanam untuk di ekspor keluar, masyarakat Indonesia juga memproduksi biji kopi untuk dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri. Dari Sabang sampai Merauke terdapat beragam jenis kopi dengan cara penyajian yang unik dan berbeda satu sama lain. Kopi kemudian menjadi budaya yang tidak lepas dari masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan mengenai perkembangan “masyarakat konsumen”. Ia kemudian sangat tampak di dalam kajian cultural studies pada tahun 1970-an di dalam karya mengenai bagaimana berbagai sub-kultur menyediakan beragam komoditas untuk menghasilkan makna alternatif dan oposisional. Analisis budaya perihal konsumsi bermula dari perhatian politik marxisme. Masyarakat prakapitalis bukanlah masyarakat konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera atau ditukar dengan barang-barang lain. Hanya sesudah runtuhnya feodalisme dan munculnya kapitalismelah, sebuah sistem yang didasarkan pada pasar, pada uang dan keuntungan, konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana dan muncul sebagai suatu aspek penting dari aktivitas manusia.

Setelah mulai munculnya masyakat konsumen, maka tidak dapat disangkal muncul ideologi konsumerisme. Yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Herbert Marcuse (1968) mengembangkan deretan argumen ini, untuk menunjukkan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. Orang-orang itu mengenali diri mereka di dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah bertingkat, perlengkapan dapur atau hanya dengan bersantai di kafe sambil minum kopi. Mekanisme itu sendiri, yang mengikatkan individu pada masyarakatnya, telah berubah; dan kontrol sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan baru yang telah dihasilkan. Jadi menurut Marcuse, pengiklan mendorong kebutuhan palsu. Misalnya keinginan untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus seperti kopi, dan seterusnya. Dalam hal ini, bisa dilihat dari fenomena yang saat ini sering dilakukan. Yaitu budaya ngopi.

Kopi dilihat pada ruang gaya hidup, maka kita memasuki persoalan bagaimana perubahan pola perilaku dalam hal konsumsi pada kopi dan identitas budaya para peminum kopi yang muncul. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah lain yang mengiringinya adalah persoalan disposisi kelas sosial dan selera. Kehadiran espresso serta gagasan single origin dan alat penyeduh kopi manual seperti Vietnam drip, french press, moka pot, syphon, pour over, dan sebagainya, dari segi pola perilaku konsumsi kita bisa melihat perbedaannya sebelum hal-hal tersebut hadir. Secara umum, sebelum espresso dan alat penyeduh kopi manual hadir, di Indonesia, kopi dinikmati dengan cara tubruk, dan saringan yang terbuat dari kain. Pada segi identitas budaya yang muncul dari aktivitas minum kopi belum kompleks. Pada kala itu, minum kopi secara umum sekedar pendamping aktivitas ngobrol atau bersantai dan bekerja dalam tekanan. Identitas budaya keindonesiaan pada kopi tubruk belum terbangun sedemikian rupa. Pada disposisi kelas sosial, minum kopi masih dilihat sebagai hal yang biasa pada umumnya. Soal selera, masih berkutat pada persoalan apa yang diminum, bukan bagaimana ia diminum.

Sebelum munculnya espresso based drinks, serta menjamurnya kedai kopi, aktivitas minum kopi oleh sebagian besar orang masih dilihat sebagai aktivitas rumahan. Ketika warung makan atau warung kopi sederhana menjadi marak, ruang untuk menikmati kopi di luar rumah di berbagai daerah mulai muncul. Jika pada masa sekarang orang hendak minum kopi pergi ke kafe; ketika kafe belum ada, orang minum kopi di luar rumah dan kantor atau di pasar, warung makan, dan warkop burjo, dan dalam beberapa hal gerobak dorong menyajikan minuman botolan yang turut serta menjual kopi. Dari segi pendapatan, sebagian besar penikmati kopi di tempat tersebut datang dari kelas menengah ke bawah. Disposisi kelas sosial yang hadir belum mencerminkan sesuatu yang diyakini ada. Persoalan selera pun belum menjadi sesuatu yang perlu dibincangkan sedemikian rupa.

Begitu kafe penyedia espresso based drinks serta produsen kopi bertaraf internasional masuk ke dalam masyarakat, terjadi pergeseran gaya hidup. Terlebih ketika Starbucks hadir di Indonesia pada tahun 2002. Dari segi demografis, tempat-tempat minum kopi berbasis espresso, masih didominasi dari kalangan menengah ke atas. Melalui espresso, adanya bentuk baru terhadap identitas budaya, disposisi kelas sosial, dan selera, baik itu terlihat dalam identitas keindonesiaan, kemodernan, citra yang mewah, kebaratan, keitaliaan, kemajuan, dan sebagainya.

Ketika informasi seputar kopi mulai disebarkan dan bisa diakses banyak orang, seperti gagasan speciality coffee dan single origin, lama-lama terjadi perkembangan gaya hidup lain. Pada taraf ini, kopi secara perlahan mulai dipahami bukan sekadar apa, tapi bagaimana ia diproses, disajikan, dan diminum. Tersebarnya informasi mengenai kopi, terutama lewat Internet, menciptakan pola perilaku konsumsi tersendiri.

Perubahan gaya hidup minum kopi berubah lagi begitu french press dan vietnam drip mulai dipopulerkan. Ditambah ketika pour over dan syphon menyusul, bagi para penikmat kopi cara melihat kopi pun menjadi kompleks. Dengan kemudahan mengakses alat kopi nonespresso dan juga alat pembuat espresso manual seperti Presso, kedai kopi skala sedang dan kecil mulai bermunculan, mengingat dengan alat nonespresso itu biaya yang dibutuhkan menjadi lebih rendah.

Perbincangan single origin di kalangan penikmat kopi ikut membentuk perkembangan gaya hidup. Orang mulai lebih spesifik ketika memesan atau membutuhkan kopi. Misalnya, memesan atau mencari kopi dari daerah tertentu, seperti Gayo, Toraja, dan Jawa. Melalui konsep single origin ini juga kedai kopi kecil dan sedang yang tanpa menggunakan mesin espresso menemukan disposisinya. Belakangan, kedai kopi mulai berani menyodorkan minuman kopi single origin yang disajikan tanpa mesin espresso. Di rumah-rumah para penikmat kopi single origin dan specialty coffee pun terjadi perubahan. Grinder atau mesin penggiling biji kopi mulai dimiliki sehingga membuat segelas kopi pun menjadi memiliki tambahan tata cara, misalnya menggiling biji kopi ketika mau menyeduhnya.

Adanya forum yang membahas kopi di dunia maya ikut menandakan bahwa telah terjadi perubahan dalam menikmati kopi. Munculnya komunitas yang dibentuk karena kecintaan pada kopi, bukan karena sering nongkrong di warung kopi sebagai gambaran dari jaringan sosial khas yang terjadi di lingkaran penikmat kopi. Oleh karena itu, banyak variabel yang bisa diamati untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan cara mengonsumsi kopi di tengah masyarakat sekarang. Yang jelas, sekarang kita sedang menyaksikan perubahan tersebut.


Catatan Kaki:
http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id (diakses pada 27 April 2016) http://www.specialtycoffee.co.id/budaya-meminum-kopi-dalam-masyarakatkita/ (diakses tanggal 27 April 2016)
http://kopikopen.com/blog/cara-menyeduh-kopi/ (diakses pada tanggal 30 April 2016)
https://majalah.ottencoffee.co.id/mengintip-sejarah-singkat-starbucks/ (diakses pada tanggal 30 April 2016)
Storey, John, 2008. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Indonesia: Jalasutra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi II

Respon Kultural Atas Pandemi