Postingan

Respon Kultural Atas Pandemi

Situasi pandemi yang bersamaan dengan bulan ramadhan merubah aktifitas ngabuburit bukan lagi di jalan-jalan mencari sebungkus takjil. pandemi memaksa kita manusia sebagai mahluk yang rentan untuk tetap berdiam dirumah. namun keterbatasan fisik bukan menjadi hambatan untuk menjadi produktif, kecanggihan teknologi salah satu pilihan jitu untuk menjaga kewarasan akal dan nalar ditengah situasi pandemi seperti sekarang. melalui aplikasi panggilan video saya pun ngabuburit online, mendengarkan sebuah diskusi. Judul tulisan diatas sama seperti judul diskusi terakhir yang baru saja saya ikuti. Respons Kultural Atas Pandemi merupakan sebuah diskusi yang diinisiasi oleh perkumpulan Eutenika, sebuah lembaga yang berbasis di kota Malang. ini merupakan diskusi keempat yang mereka buat. dalam diskusi ini menghadirkan Ngurah Suryawan, Sita Hidayah, dan Geger Riyanto sebagai pembicara dan Hatib Kadir sebagai moderator dalam diskusi tersebut. pembahasan yang menarik pun dimulai. setiap pembicara m

Perempuan, Laki-laki, dan Feminisme

Banyak orang memahami bahwa Feminisme merupakan gerakan perempuan yang membenci laki-laki, penganut seks bebas, dan bahkan lesbian. Adapula yang menjadikan konsep feminin berlawanan dengan feminis. Seolah-olah seorang feminis tidak dapat menjadi feminine. Selain itu feminisme dilihat sebatas milik perempuan saja. Wacana feminisme sebagai arena pertikaian perempuan dan laki-laki adalah sebuah kesalahan. Saya rasa asumsi tersebut muncul dari ketidakpahaman pada apa yang dimaksud dengan feminis, feminine, dan perempuan (jenis kelamin) sendiri. Menurut Toril Moi dalam esainya. Feminist, Female, and Feminine, Femininitas adalah karakteristik yang terbentuk secara kultural, Feminisme adalah pandangan politis dan Femaleness adalah hal biologis. Perempuan dalam konteks jenis kelamin adalah realitas biologis. Mendapat mentruasi, kemampuan untuk melahirkan dan menyusui dapat dianggap sebagai takdir, yang kurang lebih tidak dapat diubah. Sementara femininitas dan gender adalah sebuah kontruk

Membatasi Diri ≠ Diskriminasi

Saya dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) Dengan adanya berita tentang kampus tempat saya menuntut ilmu menjadi sarang LGBT akhir-akhir ini, kemudian banyak hadirnya berbagai macam opini. Ada yang beranggapan, kebanyakan dari kelompok agamis, bahwa hadirnya kaum LGBT di dalam lingkungan sangat meresahkan dan mendukung pihak kampus untuk bertindak. Disisi lain ada juga yang berpikir sekuler, beranggapan hal tersebut menjadi urusan pribadi setiap individu. Karena perdebatan yang cukup seru akhirnya  membuat saya untuk menulis opini ini. LGBT sebenarnya ada sejak jaman dahulu kala, bahkan sebelum saya atau kalian yang hidup saat ini lahir. Saya sendiri pun mulai akrab dengan isu ini sejak saya duduk di bangku SMA. Cukup sering saya membaca artikel atau sekedar opini dari berbagai pihak. Baik pro ataupun kontra. Bahkan berdialog dengan orang luar ataupun dalam kelompok LGBT itu sendiri. di dunia nyata ataupun maya. Saya masih ingat, saat saya baru menjadi seorang mahas

Kopi dan Budaya Ngopi Masyarakat Modern

Kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1969. Kopi pertama yang menjadi komoditas di Indonesia adalah jenis kopi Arabika. Dahulu, VOC menjadikan kopi sebagai komoditas utama. Sehingga menjadi awal masyarakat Indonesia mengenal kopi dan menjadi penghasil kopi terbesar nomor tiga di dunia hingga saat ini. Tidak hanya menanam untuk di ekspor keluar, masyarakat Indonesia juga memproduksi biji kopi untuk dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri. Dari Sabang sampai Merauke terdapat beragam jenis kopi dengan cara penyajian yang unik dan berbeda satu sama lain. Kopi kemudian menjadi budaya yang tidak lepas dari masyarakat Indonesia hingga saat ini. Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan mengenai perkembangan “masyarakat konsumen”. Ia kemudian sangat tampak di dalam kajian cultural studies pada tahun 1970-an di dalam karya mengenai bagaimana berbagai sub-kultur menyediakan beragam komoditas untuk menghasilkan makna alterna

Dialog Etnografi II

Dialog Etnografi kembali hadir untuk kedua kalinya. acara yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Antropologi Unversitas Brawijaya (HIMANTARA) mengangkat tema “Dilematis Wacana Kenaikan Harga Rokok di Indonesia”. Tema tersebut terinspirasi dari fenomena yang tengah menjadi buah bibir di masyarakat. Dialog Etnografi kali ini mengundang Dosen dan Kepala LPPM UNIDA Gontor, Dr. Muh. Fajar Pramono, M.Si sebagai pembicara dan turut menghadirkan Dosen Antropologi Universita Brawijaya, Manggala Ismanto, M.A sebagai moderator. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 29 September 2016 bertempat di lantai 2, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Acara dibuka dengan tampilan musik dari grup Antrokustik  Indonesia merupakan urutan no.1 sebagai negara perokok di dunia. Munculnya wacana kenaikan harga rokok sendiri berawal dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. penelitian tersebut  men